Pengembangan Kompetensi Keilmuan Dai dan Literasi Dakwah Digital

SahabatRiau
0

Materi disampaikan Oleh : Assoc Prof. Dr. H.M. Rizal Akbar pada, Pengembangan Kompetensi Keilmuan Dai dan Literasi Dakwah Digita, MUI Kabupaten Bengkali,14 November 2025

Pendahuluan

Dunia dakwah Islam hari ini berada dalam pusaran perubahan besar. Jika pada masa lalu dakwah dilakukan melalui mimbar, majelis taklim, dan surau, maka kini ruang dakwah telah bergeser ke layar ponsel dan media sosial. Era digital menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi para dai. Di satu sisi, teknologi membuka jalan dakwah tanpa batas ruang dan waktu; namun di sisi lain, arus informasi yang massif sering kali menimbulkan kebingungan, bahkan perpecahan, di tengah umat. Di sinilah pentingnya pengembangan kompetensi keilmuan dai agar tetap menjadi sumber otoritatif dalam membimbing umat di tengah derasnya arus digitalisasi informasi.

Fenomena “ustaz instan” dan penyebaran paham keagamaan tanpa landasan ilmiah di media sosial menjadi gejala serius yang mengancam otoritas keilmuan ulama dan dai. Oleh sebab itu, dai masa kini tidak cukup hanya memiliki kemampuan retorika atau popularitas digital. Mereka dituntut untuk memiliki kompetensi keilmuan yang mendalam sekaligus literasi dakwah digital yang kuat. Dua hal ini merupakan fondasi baru bagi kebangkitan dakwah Islam di era informasi.

Kompetensi Keilmuan Dai di Era Kontemporer

Kompetensi keilmuan seorang dai mencakup bukan hanya kemampuan memahami ajaran Islam secara tekstual, tetapi juga menafsirkan realitas sosial dengan hikmah. Seorang dai harus menjadi alim yang menguasai dalil, sekaligus mufakkir yang memahami konteks. Dalam konteks itu, kompetensi keilmuan dapat dibagi ke dalam empat dimensi utama.

Pertama, kompetensi aqidah dan syariah. Ini adalah dasar epistemik dakwah. Dai harus memiliki keteguhan akidah dan keluasan pemahaman terhadap hukum Islam berdasarkan sumber-sumber autentik — al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas — serta pendekatan maqashid syariah agar dakwahnya tidak kaku, tetapi adaptif terhadap zaman.

Kedua, kompetensi sosial dan budaya. Dakwah yang efektif harus berakar pada pemahaman konteks sosial. Dai perlu membaca peta masyarakat, mengenal karakter generasi digital, memahami budaya komunikasi, dan memanfaatkan momentum sosial. Seorang dai tidak bisa berdakwah dengan bahasa abad ke-15 untuk audiens abad ke-21.

Ketiga, kompetensi retorika dan komunikasi. Keberhasilan dakwah sangat dipengaruhi kemampuan komunikasi. Dai masa kini harus memahami teknik public speaking, storytelling, serta penggunaan gaya bahasa yang menyentuh emosi sekaligus rasionalitas audiens. Di era media sosial, retorika tidak hanya berupa suara, tetapi juga visual language — gestur, ekspresi, dan desain pesan.

Keempat, kompetensi intelektual dan kritis. Dai perlu memiliki kemampuan berpikir analitis terhadap isu-isu kontemporer seperti gender, ekologi, kemiskinan, hingga kecerdasan buatan. Ia harus mampu menghadirkan pandangan Islam yang solutif terhadap persoalan zaman. Dengan begitu, dai tidak sekadar menjadi penyampai nasihat, tetapi interpreter of reality — penafsir realitas sosial melalui lensa wahyu.

Literasi Dakwah Digital: Menjadi Dai di Dunia Siber

Literasi dakwah digital adalah kemampuan memahami, menggunakan, dan memproduksi konten keislaman di ruang digital dengan etika, kreativitas, dan efektivitas. Tanpa literasi digital, dakwah akan kehilangan arah dalam lanskap media yang dikendalikan algoritma.

Terdapat lima pilar utama literasi dakwah digital.
Pertama, akses digital, yaitu kemampuan menguasai berbagai platform media dakwah seperti YouTube, Instagram, TikTok, hingga podcast. Seorang dai harus tahu kapan dan di mana audiensnya aktif, serta bagaimana mengoptimalkan algoritma agar pesan dakwahnya menjangkau khalayak luas.

Kedua, analisis konten, yakni kemampuan menilai keaslian dan keabsahan informasi. Dai harus menjadi teladan dalam memerangi hoaks, ujaran kebencian, dan tafsir-tafsir liar yang menyesatkan.

Ketiga, produksi kreatif, yaitu kemampuan mengemas dakwah secara menarik dan inspiratif, tanpa kehilangan substansi ilmiah. Narasi singkat, visualisasi kuat, dan storytelling yang menggugah merupakan bahasa dakwah baru yang efektif di media sosial.

Keempat, etika digital. Dakwah harus dijaga dalam bingkai adab. Etika menjadi benteng utama agar dai tidak terjebak dalam popularitas kosong atau konten sensasional yang menodai kemuliaan risalah Islam.

Kelima, kolaborasi digital, yakni membangun jejaring dengan kreator Muslim, lembaga dakwah, dan komunitas kreatif agar dakwah menjadi gerakan kolektif, bukan aktivitas individu. Dakwah digital yang kolaboratif mampu melipatgandakan dampak sekaligus memperkaya sudut pandang keislaman.

Dai sebagai Digital Scholar



Era digital memerlukan model dai baru — bukan sekadar penceramah, melainkan ulama digital (digital scholar). Dai jenis ini tidak hanya memahami ilmu agama, tetapi juga menguasai ekosistem komunikasi dan teknologi.

Model integratif yang dapat digunakan adalah Model 3C:

  1. Cognition (Ilmu): Penguasaan terhadap pengetahuan agama dan worldview Islam.

  2. Communication (Komunikasi): Kemampuan menyampaikan nilai Islam dengan gaya bahasa dan medium yang relevan.

  3. Creativity (Kreativitas): Inovasi dalam penyajian dakwah agar tetap hidup, menarik, dan mudah diingat.

Model 3C menegaskan bahwa kecerdasan spiritual dan intelektual harus dipadukan dengan kecerdasan digital. Dakwah kini bukan sekadar “menyampaikan”, tetapi juga “mengonversi pesan ilahi menjadi bahasa digital”.

Tantangan dan Solusi

Tantangan yang dihadapi para dai digital tidak ringan. Krisis otoritas keagamaan di media sosial menyebabkan masyarakat mudah terpengaruh oleh popularitas, bukan kebenaran. Komersialisasi dakwah menjadikan sebagian dai terjebak pada logika pasar dan “clickbait Islam”. Disinformasi agama yang menyebar cepat memperparah fragmentasi umat.

Menghadapi tantangan tersebut, diperlukan beberapa solusi strategis:

  1. Mendirikan pusat pelatihan dai digital yang memadukan ilmu dakwah dan literasi media.

  2. Mengembangkan kurikulum dakwah berbasis maqashid syariah dan digital literacy framework, agar para dai memahami dimensi etika, spiritual, dan teknologinya sekaligus.

  3. Membangun sinergi antar lembaga — kampus, ormas Islam, lembaga penyiaran, dan komunitas kreator Muslim — untuk menciptakan gerakan dakwah kolaboratif.

  4. Mendorong riset dan inovasi “AI Dakwah”, termasuk pemanfaatan kecerdasan buatan untuk menyebarkan pesan Islam yang mendidik dan menenangkan.

Penutup

Dai di era digital tidak lagi cukup berdiri di atas mimbar; ia harus mampu berdiri di atas algoritma. Dakwah bukan lagi sekadar bicara, tetapi membangun narasi, membentuk persepsi, dan menciptakan ekosistem nilai.

Masa depan dakwah Islam akan ditentukan oleh sejauh mana para dai mampu menjembatani wahyu dan teknologi, ilmu dan empati, adab dan inovasi. Maka, pengembangan kompetensi keilmuan dan literasi dakwah digital bukan sekadar kebutuhan, melainkan tanggung jawab peradaban — agar Islam tetap menjadi rahmat bagi seluruh alam, di dunia nyata maupun di dunia maya.

Dokumen Pendukung: Undangan PPT Sertifikat

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)