Dalam imajinasi sejarah resmi dan pembangunan modern, dunia Melayu kerap digambarkan sebagai kawasan pinggiran yang pasif, tertinggal, dan kemudian “dibangkitkan” oleh intervensi kolonial dan pasar global. Narasi semacam ini tak hanya mengabaikan, tetapi secara sistematis menghapus jejak sejarah ekonomi yang pernah tumbuh kuat dari tepian pelabuhan, muara sungai, dan pertemuan arus laut. Selat Melaka, yang menghubungkan Samudra Hindia dan Laut Tiongkok Selatan, bukan hanya jalur pelayaran, melainkan simpul peradaban maritim yang membentuk nadi ekonomi dunia pada abad ke-15 hingga ke-17.
Dalam konteks inilah, karya Anthony Reid Southeast Asia in the Age of Commerce dan Leonard Y. Andaya Leaves of the Same Tree menjadi dua penanda penting dalam membuka kembali arsip sejarah yang lama terpendam. Reid menunjukkan bahwa masyarakat Melayu pesisir bukanlah korban sejarah, melainkan pelaku aktif dalam jaringan perdagangan internasional yang kosmopolitan, terbuka, dan produktif. Sementara itu, Andaya menyoroti bahwa perdagangan tidak semata berkisar pada pertukaran barang, tetapi juga tentang pembentukan etnisitas, kekerabatan, dan solidaritas sosial di antara komunitas yang berbeda-beda asal-usulnya.
Dalam pembacaan ulang ini, pelabuhan-pelabuhan seperti Melaka, Aceh, Patani, Johor, dan Siak bukan sekadar titik di peta, tetapi entitas hidup yang menyatukan aktivitas ekonomi dengan spiritualitas, hukum adat, dan budaya. Bahasa Melayu menjadi lingua franca yang merentang dari Gujarat hingga Ternate; aksara Jawi mencatat transaksi dan diplomasi; pantun dan hikayat menyuarakan logika pelayaran dan etika dagang. Islam bukan hanya agama, tetapi kerangka nilai yang mengatur hubungan ekonomi: kejujuran, keadilan, dan amanah menjadi fondasi kepercayaan dalam pasar.
Namun dunia niaga ini tidak bertahan tanpa gangguan. Abad ke-17 menandai titik balik ketika perusahaan-perusahaan kolonial Eropa seperti VOC dan EIC mengintervensi jalur niaga melalui kekerasan dan monopoli. Pelabuhan-pelabuhan Melayu dikunci, gudang diawasi, dan komoditas dipaksa masuk ke sistem distribusi yang dikendalikan dari Batavia atau London. Orang kaya pelabuhan kehilangan kuasa, produsen lokal kehilangan pasar, dan masyarakat pesisir kehilangan makna dalam ekonomi yang pernah mereka kelola sendiri. Transformasi ini mencerminkan bukan hanya kekalahan militer, tetapi juga pemiskinan epistemik—yaitu terputusnya relasi antara pengalaman ekonomi dan cara masyarakat memaknainya.
Meski demikian, perlawanan tidak selalu hadir dalam bentuk senjata. Islamisasi, penulisan hikayat, pembentukan jaringan keulamaan, dan penguatan adat menjadi bentuk-bentuk resistensi simbolik yang menunjukkan bahwa masyarakat Melayu tidak sepenuhnya menyerah pada kolonialisme. Mereka membangun benteng baru dalam ruang bahasa, sastra, dan spiritualitas. Dalam proses ini, pelabuhan tetap hidup—bukan sebagai tempat dagang, melainkan sebagai simbol kultural yang meneguhkan identitas.
Wafatnya Anthony Reid pada 8 Juni 2025 adalah kehilangan besar bagi dunia akademik Asia Tenggara. Namun lebih dari itu, kepergian beliau juga menandai datangnya tanggung jawab baru bagi generasi peneliti berikutnya: menyambung kerja intelektual yang telah beliau rintis. Reid bukan hanya menulis sejarah; ia membuka ruang berpikir baru yang memulihkan agensi masyarakat lokal dalam historiografi global. Ia menunjukkan bahwa sejarah niaga bukan hanya tentang jalur perdagangan, tetapi tentang makna, relasi, dan nilai yang hidup di pelabuhan-pelabuhan kecil yang selama ini dipinggirkan oleh narasi besar.
Menyambung kerja Reid berarti menulis dari laut, dari pasar, dari dermaga. Artinya, kita harus berani menolak kerangka kolonial yang memaksakan kategori ekonomi modern atas masyarakat yang hidup dengan logika dagang berbasis kepercayaan, adat, dan kesetaraan. Kita harus membangun historiografi yang mengangkat suara orang laut, perempuan pasar, pedagang kecil, dan budak pelabuhan sebagai aktor ekonomi yang sah, bukan sekadar “pendukung cerita” dari kekuatan imperium.
Hari ini, ketika sejarah ekonomi global tengah ditulis ulang melalui pendekatan dekolonial dan lintas-disiplin, rekonstruksi sejarah ekonomi Melayu menjadi sangat penting. Bukan sekadar untuk mengenang masa lalu, tetapi untuk memulihkan suara masyarakat yang pernah menjadi pusat ekonomi samudra, dan kini tersembunyi dalam arsip, pantun, atau nama kampung yang nyaris dilupakan. Melalui penggabungan sejarah sosial, arkeologi maritim, kajian budaya, dan ekonomi kelembagaan, kita bisa membangun kembali narasi yang adil, berakar, dan relevan.
Esai ini, sebagaimana artikel ilmiah yang melandasinya, bukan hanya pembacaan sejarah, tetapi juga sebuah ajakan: untuk memandang pelabuhan sebagai ruang peradaban, Melayu sebagai subjek ekonomi global, dan laut sebagai arsip pengetahuan yang belum selesai dibaca. Dunia Melayu bukanlah jejak yang hilang, tetapi fondasi yang menunggu untuk disusun kembali—dengan cinta, ilmu, dan keberanian untuk menyambung ingatan yang pernah coba dilupakan.
Dokumen : PPT Sertifikat Brosur
