Paradigma Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat: Refleksi Kritis atas Muamalah, Falah, dan Siyasah

SahabatRiau
0

 

Materi disampaikan Oleh Assoc Prof. Dr.H. M Rizal Akbar, M.Phil pada Ucaptama (Keynote Speaker) Pada sesi peresmian dan Outbound Mahasiswa IAITF di UiTM Melak Kampus Lendu Alor Gajah Kamis

Pendahuluan

Ekonomi Islam pada hakikatnya tidak lahir sebagai sistem teknis yang berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian integral dari misi peradaban Islam untuk menghadirkan keadilan, keseimbangan, dan kesejahteraan umat manusia. Sejak masa Rasulullah SAW hingga era klasik Islam, aktivitas ekonomi tidak pernah dipisahkan dari nilai moral, spiritualitas, dan tanggung jawab sosial. Namun, dalam perkembangan kontemporer, ekonomi Islam sering kali terjebak dalam reduksi makna—menyempit menjadi sekadar sistem keuangan tanpa daya transformasi sosial yang signifikan.

Tulisan ini berangkat dari kegelisahan akademik atas jurang yang semakin lebar antara idealisme ekonomi Islam dan realitas praktiknya. Di satu sisi, institusi ekonomi syariah tumbuh pesat; di sisi lain, kemiskinan struktural, ketimpangan, dan ketergantungan ekonomi umat tetap menguat. Oleh karena itu, refleksi terhadap paradigma ekonomi Islam perlu dilakukan secara mendalam melalui tiga lensa utama: muamalah, falah, dan siyasah, sebagaimana dipaparkan dalam ucap utama yang menjadi dasar esai ini .

Ekonomi Islam sebagai Etika Muamalah



Dalam perspektif muamalah, ekonomi Islam dipahami sebagai sistem nilai yang mengatur perilaku ekonomi manusia agar selaras dengan prinsip syariah. Muamalah tidak sekadar membahas halal dan haram transaksi, tetapi menekankan etika keadilan, kejujuran, dan non-eksploitasi dalam seluruh aktivitas ekonomi. Dengan demikian, ekonomi Islam adalah praktik moral yang hidup, bukan sekadar konstruksi hukum formal.

Pemikiran Muhammad Baqir al-Sadr menegaskan bahwa ekonomi Islam tidak dapat direduksi sebagai adaptasi dari kapitalisme atau sosialisme. Ia merupakan sistem yang memiliki logika internal sendiri, berakar pada wahyu dan visi keadilan sosial Islam. Namun dalam praktik kontemporer, yang banyak terjadi justru pendekatan pragmatis: produk konvensional “disyariahkan” melalui modifikasi kontrak, tanpa perubahan orientasi ekonomi yang mendasar.

Fenomena ini memunculkan paradoks besar: institusi keuangan syariah berkembang, tetapi dampaknya terhadap penguatan ekonomi umat—khususnya kelompok miskin dan rentan—relatif terbatas. Rendahnya literasi keuangan syariah sering dijadikan kambing hitam, padahal persoalan utamanya sering kali bukan ketidaktahuan, melainkan ketidakmampuan struktural masyarakat untuk mengakses sistem ekonomi formal apa pun. Dalam kondisi demikian, ekonomi Islam kehilangan ruh pembebasannya dan berisiko menjadi kapitalisme dengan terminologi religius.

Falah sebagai Tujuan Hakiki Pembangunan Ekonomi

Jika muamalah berbicara tentang etika praktik, maka falah adalah tujuan akhir dari seluruh aktivitas ekonomi Islam. Falah tidak dimaknai sebatas kesejahteraan material, melainkan keseimbangan antara kebahagiaan dunia dan akhirat, antara kepentingan individu dan kemaslahatan kolektif. Di sinilah ekonomi Islam menawarkan kritik mendasar terhadap paradigma kapitalisme yang mengukur keberhasilan pembangunan semata-mata melalui pertumbuhan dan akumulasi.

Maqashid Syariah menjadi kerangka penting dalam menakar falah, dengan menempatkan perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta sebagai indikator kesejahteraan. Pendekatan ini diperluas melalui Islamicity Index yang menunjukkan ironi besar: banyak negara non-Muslim justru lebih berhasil menerapkan nilai keadilan, tata kelola, dan kesejahteraan sosial dibanding negara-negara mayoritas Muslim.

Lebih jauh, konsep Tawhidi String Relation (TSR) yang dikembangkan oleh Masudul Alam Choudhury memberikan fondasi epistemologis yang lebih dalam. Dalam TSR, kesejahteraan (well-being) dipahami sebagai hasil interaksi dinamis antara nilai tauhid dan aktivitas ekonomi nyata. Dengan kata lain, falah tidak mungkin tercapai jika pembangunan ekonomi terlepas dari landasan spiritual dan etika wahyu.

Paradigma falah ini menantang cara berpikir teknokratis yang dominan dalam kebijakan ekonomi modern. Ia mengajak perancang kebijakan untuk tidak hanya bertanya “berapa besar pertumbuhan?”, tetapi “untuk siapa pertumbuhan itu terjadi, dan dengan nilai apa ia dibangun?”. Di sinilah ekonomi Islam tampil bukan sebagai sistem alternatif semata, melainkan sebagai kritik peradaban.

Siyasah dan Peran Politik dalam Ekonomi Islam

Ekonomi Islam tidak dapat dilepaskan dari dimensi siyasah, karena keadilan ekonomi mustahil terwujud tanpa kekuasaan politik yang bermoral dan berpihak kepada rakyat. Dalam perspektif ini, negara bukan sekadar wasit pasar, melainkan aktor utama yang bertanggung jawab membangun struktur ekonomi yang adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Model siklus Ibnu Khaldun—yang dikembangkan kembali oleh M. Umer Chapra—menunjukkan bahwa kekuatan politik, ekonomi, keadilan, dan pembangunan saling terkait secara erat. Kerusakan moral politik akan berdampak langsung pada ketimpangan ekonomi dan rapuhnya struktur sosial. Karena itu, politik dalam Islam tidak boleh netral nilai; ia harus tunduk pada prinsip syariah dan maqashid.

Peran siyasah menjadi sangat nyata dalam pengelolaan instrumen filantropi Islam seperti zakat, infak, sedekah, dan wakaf. Ketika dikelola secara sistematis, transparan, dan didukung kebijakan publik yang kuat, filantropi Islam dapat bertransformasi dari karitas sesaat menjadi modal sosial produktif. Namun tanpa integritas politik, instrumen ini justru rawan disalahgunakan atau direduksi menjadi simbol religius belaka.

Dengan demikian, ekonomi Islam menuntut reformasi politik yang substansial: kepemimpinan beretika, tata kelola yang akuntabel, dan keberpihakan nyata pada ekonomi rakyat. Tanpa itu, wacana ekonomi Islam akan berhenti pada retorika normatif yang kehilangan daya ubah.

Penutup

Ekonomi Islam adalah paradigma hidup yang mengintegrasikan muamalah sebagai etika praktik, falah sebagai tujuan kesejahteraan hakiki, dan siyasah sebagai instrumen struktural perubahan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan tanpa merusak bangunan konseptual ekonomi Islam itu sendiri. Tantangan utama hari ini bukanlah kekurangan teori atau institusi, melainkan keberanian untuk mengembalikan ekonomi Islam pada misi transformasi sosialnya.

Jika ekonomi Islam ingin relevan sebagai solusi peradaban, maka ia harus berani keluar dari simbolisme, menembus formalisme, dan hadir sebagai kekuatan pembebas yang nyata bagi umat manusia. Di situlah ekonomi Islam bukan hanya menjadi “alternatif”, tetapi harapan di tengah krisis global yang semakin kehilangan arah.

Dokumen : PPT Sertifikat 

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)