(Wawancara Eklusif bersama DR. H. M. Rizal Akbar)
WACANA tentang Ekonomi Islam kini sedang marak
diperbincangkan. Wacana itu didukung oleh fenomena wujudnya praktek
perbankan syariah yang semakin hari semakin berkembang. Praktek
perbankan syariah yang pada awalnya hanya dijalankan oleh Bank Muamalah,
kini sudah menyebar kesemua bank konvensional di Indonesia. Bank-bank
konvensional itupun kini telah membuka layanan-layanan syariah.
Selain perbankan, praktek Ekonomi Islam juga dijalankan pada sektor
asuransi, dan penjaminan. Selain itu, Ekonomi Islam hanya bergulat pada
masalah zakat, infaq, waqaf dan sedekah yang dikelola oleh Badan Amil
Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ) serta Unit Pengumpulan Zakat (UPZ)
yang tersebar baik di masjid maupun mushala dan instansi-instansi
pemerintah maupun swasta.
Permasalahannya adalah apakah Ekonomi Islam hanya terhenti pada
sektor keuangan saja, berikut ini disajikan wawancara khusus dengan
Bapak DR. H. M. Rizal Akbar, M.Phil pengamat Ekonomi Islam, Dosen
Muamalah dan Ketua Yayasan STAI Tafaqquh Fiddin Dumai, tentang seputar
masalah Ekonomi Islam.
Assalamu’alaikum Bapak…! Menurut Bapak apa yang membedakan antara Ekonomi Islam dengan ekonomi yang kita jalankan saat ini.
Wa’alaikumsalam, Wr. Wb. Baik, ekonomi yang kita jalankan saat ini
dapat disebut dengan ekonomi konvensional, nah dalam konteks perbedaan
diantara Ekonomi Islam dengan Ekonomi konvensional itu, saya sependapat
dengan beberapa pakar Ekonomi Islam yang menyatakan bahwa perbedaannya
terletak pada masalah falsafah ekonominya, meskipun ada sebahagian yang
lain menyebutkan perbedaannya terletak pada praktek dalam berekonomi.
Ekonomi Islam secara philosofi berorientasi pada falah (kebahagian) sementara Ekonomi konvensional berorientasi pada materi (kebendaan). Selain itu, dari aspek keadilan dalam berekonomi juga terjadi perbedaan. Bila kita simak Surat Al-Baqarah ayat 275, di sana Allah SWT Menyatakan bahwa, ” Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Bila kita pahami ayat ini, maka dalam peraktek Ekonomi Islam secara philosofi tidak boleh adanya ketidak adilan ekonomi (pengzholiman) dan falah sebagai orientasi Ekonomi Islam hanya dapat diraih dengan jalan ”diusahakan” atau dengan kata lain tidak boleh ada prinsip ”uang mencari uang tanpa kerja ”.
Bila dalam konteks jual-beli, nilai lebih atau yang disebut keuntungan
adalah hasil dari usaha. Beberapa ulama terdahulu mendefenisikan
keuntungan ini dengan ”konpensasi”. Sementara riba’, juga berorientasi pada nilai lebih namun bedanya adalah nilai lebih itu lazim disebut dengan ”bunga”.
Bunga, tidak dapat disamakan dengan konpensasi, karena ianya dihutung
pada masa awal dan sang kreditur tidak memiliki resiko atas kerugian
usaha yang diderita oleh sang peminjam. Sementara dalam Ekonomi Islam
harus berlaku prinsip profit-loss Sharing atau bagi hasil (Mudharobah)
Tadi Bapak menyebutkan tentang falah (kebahagian) bisa dijelaskan lebih rinci tentang hal tersebut?
Falah (Kebahagiaan) merupakan orientasi dari Ekonomi Islam,
jadi sesungguhnya kita masyarakat Muslim ini adalah orang-orang yang
berbahagia. Bayangkan saja setiap kali adzan dikumandangkan, maka
muadzin pasti melantunkan ”hay ya’alal falah” (mari menuju
kebahagiaan). Namun kebahagiaan yang telah digariskan di dalam ajaran
kita adalah kebahagian di dunia untuk menuju kebahagiaan di akhirat.
Sehingga untuk mencapai kebahagiaan itu, kita tidak boleh hanya terhenti
pada materi (kebendaan) semata. Nah, disinilah letak perbedaannya, bila
ekonomi konvesional hanya terbatas pada materi sementara Ekonomi Islam
jauh melampauinya dengan falah (kebahagian). Artinya dalam konsep
Ekonomi Islam materi yang diperoleh harus dapat menyelamatkan dan
materi yang dapat menimbulkan kemudharatan dan menyengsarakan harus
dijauhi dan dihindari.
Kembali pada pokok masalahnya, Bagaimana menurut bapak tentang praktek Ekonomi Islam saat ini?
Ya, praktek Ekonomi Islam sampai saat ini masih berkutat pada sektor
keuangan. Perbankan, Asuransi, Penjaminan dan sektor klasik, zakat,
sedekah, infaq dan waqaf. Sementara ruang-ruang ekonomi lainnya masih
dalam konteks wacana keilmuan seperti : Ekonomi Pembangunan Islam,
Ekonomi Makro dan Mikro Islam, Akuntansi Syari’ah dan sebagainya. Pada
hal bila wacana ilmu ini dapat dipraktekkan saya yakin bahwa ianya dapat
merubah corak perekonomian dunia saat ini. Saat ini kita dapat melihat
perekonomian dunia semakin hari semakin parah. Kapitalisme ternyata
gagal memakmurkan penduduk bumi, malah sebaliknya melahirkan bencana
yang berkepanjangan. Namun sayangnya disaat orang hampir sepakat bahwa
kapitalisme gagal, ilmuan Islam belum sepenuhnya dapat menampilkan
konsep Ekonomi Islam sebagai solusi, disebabkan kurang diminatinya
bidang ilmu ini pada masa-masa lalu.
Selanjutnya menurut Bapak, apakah praktek perbankan syari’ah saat ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsipnya?
Menyangkut sudah sesuai atau tidaknya praktek perbankan dengan
prinsip-prinsip syari’ah sesungguhnya secara formal sudah diatur oleh
Dewan Syari’ah. Selagi praktek perbankan syari’ah itu mengikuti
fatwa-fatwa Dewan Syari’ah tersebut secara formal ya sudah sesuai. Namun
saya berharap masyarakat juga harus cerdas dalam bermuamalah.
Sesunggunya benar-tidaknya praktek muamalah itu, masyarakat sendirilah
yang menilainya. Untuk itu memahami ilmu muamalah adalah kewajiban bagi
setiap muslim.
Mungkin sedikit perlu Bapak jalaskan perbedaan diantara Ekonomi Islam dengan Muamalah?
Diantara Muamalah dan Ekonomi Islam sebenarnya sama saja. Muamalah ya
ekonomi Islam. Tapi karena saat ini terjadi pengelompokan Ilmu,
akhirnya ada Ekonomi Islam dan ada Muamalah (Hukum Ekonomi Islam). Padahal prinsip Ekonomi Islam itu adalah tidak memisahkan diantara positif ekonomi (praktek ekonomi) dengan normatif ekonomi (hukum berekonomi).
Terakhir, Apa yang menjadi harapan Bapak terhadap pengembangan Ekonomi Islam dimasa dapan?
Harapan saya Ekonomi Islam harus dikembangkan oleh semua kalangan.
Hari ini Ekonomi Islam lebih terkonsentrasi di Lembaga Pendidikan Tinggi
Islam. Dan Sarjana Ekonomi Islam di Indonesia hari ini, lebih banyak
yang berlatar belakang pendidikan agama. Padahal pemahaman Ekonomi Islam
harus didukung oleh pengetahuan-pengetahuan umum lainnya seperti
matematika, ekonometrika, statistik dan ekonomi konvensional.
Di samping itu, saya berharap pemerintah harus memberikan dukungan
terutama dalam pengembangan program studi ini ke depan, yaitu dengan
memberikan porsi kepada para Sarjana Muamalah ini pada jabatan-jabatan
yang ada di pemerintahan. Mereka para Sarjana Muamalah sesungguhnya
bukan hanya menguasai Ekonomi Islam tapi juga memahami Ekonomi
Konvensional dan Hukum Bisnis sekaligus. Sehingga tidak ada salahnya
pemerintah memberikan kesempatan kepada mereka baik di bidang
perencanaan, administrasi, ekonomi, pembangunan dan bahkan dengan
kompetensi dasar sebagai ulama mereka juga mampu menyangga persoalan
sosial dan keagamaan. (frd)